Lahir dan besar di lingkungan kumuh pasti bukan pilihan anak manapun. Tapi kalo orang tua tak punya pilihan, apa mau dikata. Maka, Aris Junaedi pun tinggal di wilayah Rawamalang, Cilincing, Jakarta Utara, bersama ibu yang seorang buruh mencuci dan empat saudara lainnya. Ayahnya sudah wafat saat ia berusia dua tahun.
Aris Djunaedi, 19 tahun, atau biasa dipanggil Juned berhasil menyelesaikan SMK jurusan tehnologi informatikanya, tahun lalu. Prestasinya cukup bagus baik dalam kegiatan akademik maupun ekstra kurikuler. Ia sedikit lebih beruntung, disbanding teman-teman sebayanya di Rawamalang. Bahkan kini ia sudah bekerja sebagai tenaga IT di PT Nusantara Comnet, Jakarta.
Menjadi anak kampung Rawamalang menjadi beban tersendiri bagi anak-anak di sana. Label sebagai wilayah yang akrab dengan prostitusi memberikan beban mental yang cukup berdampak. “Dulu orang suka nyepelein kami,” kata Wawan, teman seperjuangan Juned.
Juned, Wawan dan 3 teman lainnya kemudian berupaya untuk mengubah stigma sebagai anak-anak yang besar di komplek prostitusi, ingin diakui “dunia luar” sebagai anak normal yang bermartabat. Mereka memulai aksi perjuangannya dengan membuat sebuah sanggar belajar.
Dengan bantuan Betty, seorang relawan pencinta anak jalanan, Juned kemudian mendirikan Ikatan Peduli Pendidikan Anak atau yang disingkat IPPA pada tahun 2009.
Tujuan pendirian IPPA adalah untuk menghilangkan kesan daerah Rawamalang sebagai areal lokalisasi, kesan itu memberi efek psikologis bagi anak-anak yang tinggal di sekitar lahan prostitusi terbesar di Jakarta Utara.
Di Sanggar ini mereka belajar bersama tentang banyak hal dengan memaksimalkan penggunaan perpustakaan mini mereka. Di luar itu mereka juga mengasah keterampilan berseni dari mulai menggambar, menari dan menyanyi. Sesekali mereka melakukan study tour ke beberapa tempat di Jakarta.
Melalui perjuangan Juned dan teman-temannya, kini anak-anak Rawamalang memiliki banyak prestasi dan kebanggan, terutama di bidang seni. “Sekarang saya tidak malu lagi tinggal di Rawamalang,” kata Irvan, salah satu teman Juned lainnya.
Dengan kesederhanaan, Juned telah membangkitkan banyak harga diri anak-anak Rawamalang. Sekarang mereka tak malu lagi mengaku sebagai anak Rawamalang, karena mereka memiliki banyak prestasi.
Aris Djunaedi, 19 tahun, atau biasa dipanggil Juned berhasil menyelesaikan SMK jurusan tehnologi informatikanya, tahun lalu. Prestasinya cukup bagus baik dalam kegiatan akademik maupun ekstra kurikuler. Ia sedikit lebih beruntung, disbanding teman-teman sebayanya di Rawamalang. Bahkan kini ia sudah bekerja sebagai tenaga IT di PT Nusantara Comnet, Jakarta.
Menjadi anak kampung Rawamalang menjadi beban tersendiri bagi anak-anak di sana. Label sebagai wilayah yang akrab dengan prostitusi memberikan beban mental yang cukup berdampak. “Dulu orang suka nyepelein kami,” kata Wawan, teman seperjuangan Juned.
Juned, Wawan dan 3 teman lainnya kemudian berupaya untuk mengubah stigma sebagai anak-anak yang besar di komplek prostitusi, ingin diakui “dunia luar” sebagai anak normal yang bermartabat. Mereka memulai aksi perjuangannya dengan membuat sebuah sanggar belajar.
Dengan bantuan Betty, seorang relawan pencinta anak jalanan, Juned kemudian mendirikan Ikatan Peduli Pendidikan Anak atau yang disingkat IPPA pada tahun 2009.
Tujuan pendirian IPPA adalah untuk menghilangkan kesan daerah Rawamalang sebagai areal lokalisasi, kesan itu memberi efek psikologis bagi anak-anak yang tinggal di sekitar lahan prostitusi terbesar di Jakarta Utara.
Di Sanggar ini mereka belajar bersama tentang banyak hal dengan memaksimalkan penggunaan perpustakaan mini mereka. Di luar itu mereka juga mengasah keterampilan berseni dari mulai menggambar, menari dan menyanyi. Sesekali mereka melakukan study tour ke beberapa tempat di Jakarta.
Melalui perjuangan Juned dan teman-temannya, kini anak-anak Rawamalang memiliki banyak prestasi dan kebanggan, terutama di bidang seni. “Sekarang saya tidak malu lagi tinggal di Rawamalang,” kata Irvan, salah satu teman Juned lainnya.
Dengan kesederhanaan, Juned telah membangkitkan banyak harga diri anak-anak Rawamalang. Sekarang mereka tak malu lagi mengaku sebagai anak Rawamalang, karena mereka memiliki banyak prestasi.
0 comment:
Posting Komentar